"Wong tuwomu opo jare aku, kowe gelem tak toto leh?,” tanya Mbah Kyai Munawir, sang Guru yang sekaligus Mursyid Thoriqoh.
”Inggih,” jawab Kyai Sholeh dengan santun. Kemudian Mbah Kyai Munawir mengatakan "Kowe nek gelem NGALAH barokah...”
***
Romo KH. Sholeh Bahruddin bukan hanya sekedar ulama yang nyantri 5 – 10
tahun saja, dan bukan pula ulama’ yang nyantri dari 3 atau 4 pesantren
saja. Sejak kecil beliau sudah bergelut dengan lingkungan Pesantren,
mulai dari Pesantren ayahandanya sendiri, Pesantren kakeknya, sampai
Pesantren para ulama sepuh yang mempunyai kharismatik tinggi di tanah
Jawa pernah beliau jajaki.
Dari berbagai latar belakang pesantren
yang pernah beliau jadikan pelabuhan hati itulah, pada akhirnya beliau
ramu dalam satu ramuan mujarab di Pesantrennya sehingga akhirnya menjadi
sebuah pesantren multikultural (beragam budaya), yaitu pesantren
Ngalah.
Pada tahun 1985 beliau mendirikan lembaga pendidikan
Pondok Pesantren Ngalah. Selain beliau sebagai Pendiri dan ketua umum
Yayasan Darut Taqwa Sengonagung Purwosari Pasuruan beliau juga menjabat
sebagai musytasar NU cabang Pasuruan 2006 – 2010 M. Dalam menjalankan
amanah, beliau sebagai pendiri dan pengasuh mempunyai prinsip atau motto
ngayomi lan ngayemi terhadap sesama.
Dengan lembaga yang
didirikan mulai TK sampai Universitas Yudharta beliau mempunyai tujuan
dan harapan untuk mencerdaskan bangsa dan mempertahankan nilai-nilai
Pancasila sekaligus mencetak santri yang berotak Jepang dan berhati
Madinah atau dengan bahasa Pesantrennya fiddunnya hasanah wafil akhiroti
hasanah yang bermuara pada waqina adabannar.
Untuk mendirikan
Pondok Pesantren itu tidak semudah yang kita bayangkan, seperti halnya
membalikkan telapak tangan tetapi perlu adanya usaha keras dan diikuti
dengan kesabaran sekaligus perlu kepiawaian yang tinggi, apalagi
didalamnya terdapat berbagai macam atau model pendidikan yang
diterapkan, mulai model salaf sampai model kholaf, dan disamping itu
juga diajarkan ilmu thoriqoh yang menjadi pondasi keimanan dan
ketauhidan seorang hamba. Hal ini menunjukkan betapa sempurnanya ilmu
yang dimiliki oleh seorang kyai yang mampu memberikan pendidikan yang
multicultural kepada semua santrinya. Dan ini membutuhkan waktu yang
cukup lama dan panjang serta butuh kesabaran untuk mengukir dan
mewujudkan semua itu.
Pemberian Amanah Menuju ”Ngalah”
Setelah beliau menikah pada tahun 1975 diusianya yang ke 22, beliau
tidak lantas mengaktualisasikan ilmunya ditengah-tengah kehidupan yang
lebih nyata, mengasingkan diri dari dekapan kedua orang tuanya dan
hijrah untuk berjuang menyebarkan syariat Islam dipergumulan orang-orang
yang masih membutuhkan media untuk mentransfer hidayah Tuhan masuk
kedalam hati sanubari mereka, merubah kultur budaya masyarakat yang jauh
dari tuntunan syariat.
Beliau yang sudah menikah mulai berfikir
akan perekonomian keluarga yang dibinahnya, bergeraklah beliau untuk
membuka usaha untuk menopang ekonomi keluarga dirumahnya, dengan modal
yang sedikit beliau mencoba keberuntungannya untuk berdagang berbagai
macam kebutuhan bangunan, dimulailah perdagangan itu dengan menyediakan
batu kapur dan sedikit kayu glugu. Namun Tuhan berkata lain dan
menurunkan ujian kepada beliau dengan diberi kesuksesan dan keberhasilan
dalam usaha beliau, sehingga dengan waktu yang cukup singkat beliau
mampu mengembangkan usahanya dan mendapatkan keuntungan yang melimpah.
Pada dasarnya keuntungan dan keberhasilan dalam berdagang selalu beliau
harapkan dan itu semua tentu saja menjadi harapan semua orang apalagi
orang tua yang biasanya bahagia melihat kesuksesan anaknya. Namun
berbeda dengan beliau dan kedua orang tuanya, beliau justru melihat
semua itu merupakan ujian dari Allah SWT yang bisa membuat beliau
melupakan tanggung jawab dan kewajibannya untuk mendampingi dan membantu
orang tua beliau dalam mengajar dan mendidik para santri di pesantren
ayahnya. Dengan kesibukan beliau akan pencarian dan penerimaan karunia
Tuhan itu, suatu ketika beliau meninggalkan kewajibannya untuk mengajar
dan mendidik santri ayahnya, seketika itu beliau dipanggil oleh ayahnya
dan ditegur dengan nada penuh dengan kemarahan. Ayah beliau bertanya
”teko endi koen kok gak ngajar mangko” beliau menjawab dengan sopan
”ndugi kilaan pak” mendengar jawaban sang putra Mbah Kyai Bahruddin
Kalam atau ayah beliau langsung memarahi beliau ”terusno.... tak obong
tokomu”, sungguh tauladan yang perlu kita petik hikmahnya, dimana
kepentingan akhirat harus didahulukan dari pada kepentingan dunia, dan
kepentingan orang lain lebih diutamakan dari pada kepentingan pribadi.
Hari demi hari beliau merasa gunda mendengar perkataan orang tuanya.
Bagaimana tidak keberhasilan yang selalu diharapkan ternyata tidak bisa
membuat orang tua beliau senang melihatnya, tapi justru membuat sedih
dan marah. Itulah kesedihan beliau yang mendalam. Namun bagaimanapun
juga beliau adalah hamba Tuhan yang selalu diberi petunjuk, sehingga
pada akhirnya beliau menyadari bahwa dalam menjalani kehidupan ini tidak
ada ujian dan cobaan yang berat untuk taat kepada kedua orang tua dan
kepada Tuhannya selain ujian dan cobaan yang bersifat kenikmatan dan
kesenangan. Dengan kenikamatan dan kesenangan orang akan lupa kepada
perintah Tuhan dan bisa membuat dirinya berlaku sombong dan
menghilangkan kepatuhan kepada kedua orang tuanya.
Disaat
kebingungan menyelimuti alam pikiran beliau, terbersitlah hidayah Tuhan,
sehingga beliau memutuskan untuk mencari sebuah ketenangan batin yang
lebih hakiki, pergilah beliau untuk ”manjing suluk” menuntaskan ilmu
thoriqohnya pada Mbah KH. Munawir Kertosono, tepatnya pada tahun 1984 M,
setelah ”manjing suluk” selesai akhirnya beliau mendapatkan mandataris
kemursyitan sebagai guru thoriqoh Naqsyabandiyah, Qodiriyah, kholidiyah,
wal mujadadiyah.
Kesempurnaan beliau sebagai guru thoriqoh
membuat hati sang guru yaitu Mbah KH. Munawir menguji akan kesetiaan
beliau sebagai seorang murid, dipanggilah beliau oleh Mbah KH Munawir
dan beliau diberi amanah yang cukup bertentangan dengan nafsu duniawi,
dimana pada saat itu perekonomian keluarga beliau sudah mulai terbangun,
tiba-tiba sang guru menyuruh beliau untuk meninggalkan semuanya;
berkatalah sang guru “Koen iku anak barep, ojo gembol uwong tuwomu,
dulurmu sek akeh, sak aken adik-adikmu kate manggon nangdi, wong tanahe
bapakmu yo mek sak munu, beliau menjawab dospundi kale bapak? Sang guru
menegur ”uwong tuwomu opo jare aku, kuwe gelem tak toto leh” beliau
menjawab ”inggih” sang guru mengatakan ”kuwe nek gelem Ngalah
barokah..!!”. beliau menjawab lagi dengan kepatuhan ”inggih”, dari
situlah muncul sebuah doa yang terucap dari sang guru ”Ngalah barokah,
...Ngalah barokah,... Ngalah barokah”.
Tidak lama kemudian beliau
minta izin pulang kerumah ayahnya, dan Mbah KH. Munawir berpesan ”nek
wes tutuk omah warahen bapakmu kongkon mrene”. Setelah sampai dirumah
beliau menceritakan kepada ayahnya apa yang telah diperintahkan oleh
sang guru (Mbah KH. Munawir) kepadanya. Mbah KH. Bahruddin yang juga
masih termasuk keponakan dari Mbah KH. Munawir langsung pergi ke
Kertosono untuk menemui beliau, sesampainya Mbah KH. Bahruddin disana,
Mbah KH. Munawir berkata kepada beliau ”anakmu sholeh ojok digembol ae,
culno jarno arek iku cek ngaleh” beliau menjawab ”inggih nderek aken”.
Setelah perbincangan antara keduanya selesai, akhirnya Mbah KH.
Bahruddin pulang, dan sesampainya dirumah beliau langsung memanggil Romo
KH. Soleh Bahruddin dan memberikan sebuah wejangan akan beberapa hal
yang harus beliau lakukan dalam menjalankan perintah sang guru.
Dengan diiringi doa restu yang tulus, melepaskan anaknya untuk pergi berjuang menyampaikan kalam Tuhan, beliau berpesan;
1. Kowe yen dholek panggunan kudu ora ado lan ora jedek songko pasar
(Kamu kalau mencari tempat jangan yang terlalu jauh dan terlalu dekat dengan pasar)
2. Panggunan mau ora adoh songko dalan sepur (Stasiun)
(Tempat itu juga tidak jauh dari stasiun)
3. Panggunan mau ora adoh songko ratan
(Tempat itu juga tidak jauh dari jalan raya)
4. Panggonan mau ora adoh songko banyu.
(Tempat itu juga tidak jauh dari sungai)
5. Panggunan mau seng penduduk’e isih tipis imane
(Tempat yang penduduk atau warganya masih banyak yang belum beriman)
6. Panggonan mau durung ono bangunan masjid.
(Tempat itu masih belum ada masjidnya)
7. Lan panggonan mau kudu ono pinggir tengene dalan.
(dan tempat itu harus berada disebelah kanan jalan)
Belum kering rasa kegelisahan untuk mengawali perjuangan, pindah dari
dekapan orang tua, jauh dari keluarga yang selalu memberikan
perlindungan sesuai dengan amanah sang guru, hati dan pikiran beliau
tambah bergejolak rasa kebingungan sesaat setelah menerima pesan dari
orang tuanya itu. Dalam hati beliau bertanya-tanya kemana aku harus
mencari tempat yang sesuai dengan petunjuk sang ayah itu.
Namun
dengan latar belakang ketaatan seorang anak yang selalu berbakti kepada
guru dan orang tua, beliaupun tidak pikir panjang dan banyak komentar,
dengan Bismillah dan percaya akan pertolongan Allah yang selalu menolong
hamba-Nya, perintah itupun dilaksanakan dengan meminta restu kepada
orang tuanya ”Pangestunipun”, ”iyo wes budalo tak pangestoni” hanya doa
itulah yang mengiringi beliau dalam menunaikan perintah sang guru dan
orang tuanya.
Langkah Kaki Menuju Bumi “Ngalah”
Langkah
kaki beliau mulai berjalan, menyusuri berbagai tempat untuk mencari
lokasi perjuangan. Namun untuk menemukan lokasi yang persis dengan isi
amanah sang ayah itu sangatlah sulit. Hari demi hari beliau lalui dengan
mencari informasi kesana kemari melangkahkan kaki sesuai dengan kata
hati.
Dalam masa pencarian itu, tentunya banyak kisah pahit yang
beliau alami, karena memang mencari tempat yang sesuai dengan amanah itu
tidak semudah yang kita bayangkan, butuh sebuah perjuangan dan waktu
yang cukup panjang serta sangat melelahkan.
Bisa kita bayangkan
betapa sulitnya mencari dan menemukan tempat seperti itu, ibarat mencari
sebuah permata beliau mencari permata yang ada didasar laut dengan
berbagai kriteria dan bentuknya, dan dengan peralatan yang sangat
sederhana. Sungguh hal itu sangatlah melelahkan.
Setelah beberapa
waktu telah beliau lalui, beberapa tempat sudah beliau kunjungi,
kepergian beliau menyisir kota Sidoarjo, Probolinggo, Jember,
Banyuwangi, dan lain sebagainya, sudah cukup menyita waktu dan sangat
lelelahkan, namun tempat perjuanganpun tak kunjung beliau temukan,
sesekali beliau merasa lega ketika ada beberapa tempat yang beliau
kunjungi terdapat ciri-ciri yang agak sesuai dengan isi amanah, namun
setelah beliau perhatikan dengan seksama ternyata ada satu dan dua
kreteria yang tidak terdapat dalam lokasi itu, hal itu terjadi berulang
kali, sehingga terkadang terbersit pula di hati beliau rasa keputus
asaan untuk mencari dan menemukan lokasi yang persis dengan isi amanah
itu, sampai pada akhirnya beliau matur (bilang) kepada ayahnya. “Pak,
mboten enten tempat seng kados niku” (pak tidak ada tempat yang sesuai
dengan amanat itu), kemudian ayahnya menjawab dengan singkat, “Onok,
golek ono maneh!” (ada, cari lagi). Dengan tabah dan sabar beliau jalani
lagi perintah sang ayah, dengan menyusuri berbagai daerah, mencari
pijakan kaki perjuangan, namun lagi-lagi beliau masih belum juga
menemukan lokasi itu, sampai pada akhirnya rasa keputus asaan
menyelimuti hati beliau kembali, rasa gunda dan gelisa selalu menemani
beliau, rasa takutpun muncul untuk mengatakan kegagalannya dalam mencari
tempat perjuangan yang kedua kalinya kepada sang ayah, akan tetapi apa
boleh buat, kesulitan beliau pada akhirnya mendorong keberanian untuk
mengatakan yang sesungguhnya, namun lagi-lagi jawaban sang ayah tetap
sama dengan yang pertama “Onok, golek ono maneh!” (ada, cari lagi).
Sungguh jawaban yang menguji sebuah ketabahan dan kesabaran hati
seseorang untuk menjalankan sebuah perjuangan.
Jawaban yang
selalu sama dari sang ayah membuat beliau bingung dan bimbang, apakah
bisa mencari tempat yang sesuai dengan amanat tersebut, termenunglah
beliau dalam keadaan gunda dan gelisa, dan di hati kecil beliau berkata;
“Aku golek nangdi maneh, tempat seng koyok ngono, padahal aku wes
nangdi-nangdi sek gak nemu ae tempat seng koyok ngono, cek sorone amanah
iki”. (Aku mencari kemana lagi, padahal aku sudah kemana-mana masih
belum ketemu saja tempat seperti itu, kok begitu berat amanah ini).
Namun bagaimanapun juga beliau (Romo Kyai Sholeh) adalah seorang anak
yang selalu patuh terhadap orang tua dan guru, sehingga bagaimanapun
beratnya amanah itu, tetap beliau jalani dengan sungguh-sungguh dan
dengan keikhlasan dan ketabahan serta kesabaran hati, tidak mengenal
waktu dan lelah, beliau terus berjalan menyusuri beberapa kota dan
pelosok desa, sampai pada akhirnya beliau beranggapan bahwa hamparan
pulau Jawa ini begitu sempit untuk mencari lokasi yang sesuai dengan
amanah sang ayah, dan terfikirlah dibenak beliau untuk hijrah dan
mencari lokasi di luar Jawa.
Namun keinginan beliau untuk hijrah
ke luar Jawa ternyata tidak diizinkan oleh kehendak Tuhan, sehingga
beliau mencoba kembali mengundi keberuntungan, pergi melangkahkan kaki
menyisir kota Mojokerto, setelah beberapa hari dan beberapa tempat sudah
beliau kunjungi, lagi-lagi lokasi itupun tak kunjung saja beliau
jumpai.
Dengan sabar dan tabah beliau terus jalani perintah itu,
langkah kaki terus beliau ikuti sampai pada suatu ketika, disaat
rintik-rintik hujan mulai membasahi bumi dan menemani perjalanan beliau,
dari situ terdoronglah beliau untuk mencari tempat berteduh, dan
berhentilah beliau ke rumah salah satu santri ayahnya di Pesanggrahan
Ketidur Mojokerto yang bernama bapak Solikhin. Disitu beliau
menceritakan semua tujuan dan maksud kepergian beliau ke Mojokerto yaitu
ingin mencari tempat dengan beberapa kreteria yang sesuai dengan amanah
sang ayah. Setelah mendengar cerita beliau akhirnya pak Solikhin
menunjukkan beberapa tempat lagi, di antaranya yang terletak di
Kutorejo, Bendengan, Pungging, dan Sumber Kembar Pacet. Setelah beliau
mendapatkan informasi tempat itu, keesokan harinya semuanya beliau
kunjungi, dan lagi-lagi semua tempat itu masih juga tidak cocok dan
tidak sesuai dengan isi amanah. Melihat begitu sulitnya mencari lokasi
tersebut, akhirnya pak Solikhin memberikan saran kepada beliau untuk
minta petunjuk kepada sang ayah, arah mana yang harus dilalui untuk
mencari lokasi itu.
Setelah cukup lama beliau melakukan
perjalanan, beliau lantas pulang kembali dengan membawah kegagalan lagi,
rasa capek membuntuti badan beliau, beristirahatlah beliau dalam
suasana penuh kegelisaan. Keesokan harinya, sesuai dengan saran pak
Solikhin, beliau mencoba memberanikan diri untuk meminta petunjuk kepada
sang ayah, arah mana yang harus beliau tempuh dalam mencari lokasi itu.
Dengan rasa kasihan melihat anaknya yang sudah malang melintang kesana
kemari menjalankan perintahnya, akhirnya sang ayah pun memberikan
sedikit petunjuk, dengan mengatakan ”melakuo ngidul” (berjalanlah kamu
kearah selatan). Dari petunjuk sang ayah itulah beliau mulai sedikit
menemukan jalan terang untuk menemukan lokasi perjuangan itu, seakan
menemukan tongkat yang bisa memberikan petunjuk jalan.
Sebagaimana petunjuk sang ayah, beliau kembali mencari tempat perjuangan
itu. Berjalanlah beliau kearah selatan dari tempat tinggal beliau di
Carat Gempol, dan mengundi keberuntungan dengan menyisir kota Wlingi
Blitar, namun lagi-lagi beliau tidak menemukan tempat yang sesuai dengan
apa yang beliau cari. Tanpa mengenal putus asa beliau terus mencari dan
mencari, langkah kaki beliau terus mengajak untuk menyusuri setiap
jalan yang bisa dilalui.
Dan pada suatu hari pencarianpun beliau
lanjutkan kembali dengan menyisir kota Malang. Setelah beberapa desa dan
tempat sudah beliau jelajahi, namun tempat yang beliau cari masih belum
ditemukan, disaat rasa kecape’an dan keringatpun mulai bercucuran, maka
pencarianpun beliau hentikan, bergegaslah beliau untuk pulang dan
beristirahat mengumpulkan stamina untuk bekal pencarian hari esok.
Namun ketika di tengah-tengah perjalanan beliau menuju rumah, rasa
kasihan Tuhan mulai diturunkan kepada hamba-Nya yang selalu tabah dan
sabar itu, dengan pertolongan serta hidayah dari Allah SWT, akhirnya
langkah kaki dan niat beliau untuk langsung pulang terhentikan di sebuah
pasar yang terletak di Purwosari. Untuk menghilangkan rasa capek, rasa
dahaga dan lapar, bersinggahlah beliau kesalah satu warung yang ada di
sekitar pasar itu, memesan secangkir kopi dan makanan di sela-sela itu
terjadilah perbincangan antara beliau dan pemilik warung itu, yang
bernama Pak Mukhtar, pada awal mulanya beliau ditanya oleh pemilik
warung itu ”sangking pundi panjenengan” dari mana anda, beliau menjawab
”sangking Carat” dari Carat, tanpa beliau sangka dan beliau sadari
ternyata pemilik warung itu mengenal ayah beliau dengan menanyakan
”napane Kyai Bahruddin” sebelah mananya Kyai Bahruddin, dengan menutup
diri beliau menjawab ”kulo tanggine” saya tetangganya. Perbincangan
semakin panjang, sampai pada akhirnya beliau mencurahkan keinginannya
untuk mencari sebidang tanah yang akan dijadikan tempat tinggal, dan
lama-kelamaan terbongkar juga, kalau beliau adalah putra Mbah KH.
Bahruddin Kalam yang akan membuka lahan perjuangan baru.
Malaikat
mulai diturunkan oleh Tuhan untuk menggugah hati pak Mukhtar sehingga
rasa kasihanpun muncul dibenak hatinya, dan akhirnya dia menunjukkan
bahwa ada sebuah stasiun yang terletak tidak jauh dari pasar sini
(Purwosari), tepatnya di Desa Sengonoagung dan mungkin saja disana ada
sebidang tanah yang cocok (sesuai dengan apa yang dicari) dan bisa
dijadikan tempat tinggal sekaligus madrasah.
Dengan ditemani pak
Khojin Ngoro mojokerto akhirnya beliau melanjutkan kembali pencarian
lokasi itu, mengurungkan niatnya untuk langsung pulang, sekitar jam 12
siang atau pada saat adzan dhuhur berkumandang tibalah beliau berdua di
Perempatan Sengon sesuai dengan petunjuk pak Mukhtar tadi, dan untuk
melaksanakan panggilan Tuhan beliau bersinggah dan memunaikan
kewajibannya sebagai seorang muslim di mushollah yang terletak ditepi
sungai.
Pada awalnya beliau sempat ragu lagi untuk bisa menemukan
lokasi perjuangan yang sesuai dengan isi amanah sang ayah, sebab pada
saat itu beliau melihat ada sebuah masjid yang berdiri kokoh disebalah
timurnya jalan raya. Namun seakan ada sebuah magnet yang memanggil
beliau untuk terus berjuang meneruskan pencarian, sehingga tanpa putus
asa dan tanpa mengenal lelah setelah selesai sholat pencarian beliau
lanjutkan, berjalanlah beliau kearah barat Sengon dengan terus
memperhatikan kondisi dan lingkungan disekitarnya, setelah bertanya ke
beberapa orang beliau mulai mendapatkan petunjuk, dan berputarlah beliau
berjalan melewati sungai besar yang memisahkan antara desa Sengon
dengan dusun Kembang Kuning, tidak lama kemudian sampailah beliau di
dusun Kembang Kuning tersebut, dengan berjalan kaki beliau terus
menyusuri dusun Kembang Kuning dengan selalu menoleh kanan kiri dan
memperhatikan lingkungan disekitarnya, sampai pada akhirnya langkah kaki
beliau berdua terhentikan dirumah salah satu warga yang terletak di
pojok dusun yang bernama bapak H. Huri, dimana pada saat itu masih
terdapat dua rumah saja yaitu rumahnya Bapak H. Huri dan rumah Mbok
Saminah.
Disitu beliau mulai menemukan sebuah harapan besar,
sebab pada saat itu beliau melihat ada hamparan tanah yang masih kosong
tak berpenghuni, bersinggah beliau kerumah pak H. Huri itu untuk
menanyakan apakah ada tanah yang dijual dan lain sebagainya, dari situ
beliau ditunjukkan sebidang tanah milik pak Ali, setelah perbincangan
selesai, beliau lantas bersinggah kerumah Pak Ali di dusun Kembang
Kuning, dengan tujuan menanyakan tanahnya. Setibanya beliau dirumah pak
Ali dan menanyakan lahan yang dimaksud, beliau mulai ragu lagi untuk
bisa mendapatkan lahan perjuangan itu, pasalnya tanah yang dimaksud itu
mau diwaqofkan jika untuk pembangunan masjid, hal itu mengingatkan
beliau pesan sang ayah yang tidak membolehkan beliau untuk menerima
tanah waqofan sebagai tempat perjuangan selama-lamanya, dan akhirnya
beliau mengurungkan niatnya untuk bisa memiliki tanah pak Ali itu.
Karena melihat letak dusun Kembang Kuning yang sangat strategis dan
sesuai dengan isi amanah yang berjumlah tujuh itu, sehingga tanpa putus
asa beliau terus mencari lagi tanah kosong yang ada disekitar dusun itu
yang dijual dan bisa dibeli. dengan menyisir dan mengelilingi kembali
dusun Kembang Kuning, tibalah beliau dirumah Mbok Rondo bernama Nasiyah
(Mbok Yah), disitu beliau melihat ada tanah kosong yang cukup luas dan
berdekatan dengan jalan masuk desa antara Dusun Kembang Kuning dan Dusun
Pandean yang dulunya pernah dijadikan tempat pembuangan kotoran ayam.
Dengan rasa gembira dan sedikit lega beliau mencoba mendekati tanah
tersebut.
Setelah tiba ditempat atau lokasi tersebut, beliau
bertemu dengan salah satu warga kembang kuning yang bernama pak Raki
yang pada saat itu sedang menyangkul sawah yang bersebelahan dengan
lokasi, dengan sapaan yang santun beliau memulai perbincangan, mulai
saling sapa, dan bertanya siapa yang mempunyai tanah ini?, dijual apa
tidak? dan lain sebagainya.
Setelah perbincangan beliau berakhir
dan menemukan jawaban yang memuaskan, berpamitlah beliau kepada mereka
untuk pulang. Dan sesampainya beliau dirumah, dengan penuh kegembiraan
dan rasa optimis beliau langsung menghadap kepada ayahnya untuk matur
(berkata) kepada sang ayah; “Pak sampun wonten panggenan ingkang dipun
kersa’aken” (Pak sudah ada tempat yang diinginkan). Kemudian sang ayah
bertanya “Gek endi tempate?” (dimana tempatnya?), beliau menjawab;
“Tempate wonten ing dusun Pandean deso Sengonagung kecamatan Purwosari
(tempatnya di dusun Pandean desa Sengonagung kecamatan Purwosari), lalu
sang ayah berkata; “Oh yo wes, kapan-kapan ayo didelok” (oh ya sudah...
suatu saat ayo kita lihat). Setelah dirasa cukup beliau menjelaskan
kepada sang ayah tentang kondisi dan tata letak lokasi, beristirahatlah
beliau dengan ditemani bayangan-bayangan hari esok dalam perjuangannya
menyebarkan kalam-kalam Tuhan.
Tanah atau lokasi yang sudah
diceritakan oleh sang putra, dimana lokasi tersebut mempunyai kesesuaian
dengan isi amanah yang telah diberikan, mulai tempatnya yang tidak
terlalu jauh dan tidak terlalu dekat dengan pasar (pasar Purwosari),
tidak jauh dari stasiun (stasiun Sengon), juga tidak jauh dengan jalan
raya, dan juga tidak jauh dari sungai (sungai Jempinang), dan
penduduknya yang masih kurang mengenal syariat agama, karena disebelah
lokasi terdapat lokalisasi atau tempat berkumpulnya wanita dan laki-laki
tanpa status, serta masih belum berdirinya bangunan masjid, tempat
orang bersujud kepada Tuhan, sekaligus lokasi itu terletak disebelah
kanan jalan, baik dari arah Surabaya maupun dari arah masuk Dusun
Pandean, membuat ketidak sabaran sang ayah (Mbah KH. Bahruddin Kalam)
untuk segera melihat dan membuktikan kebenaran cerita sang anak.
Beberapa hari kemudian, sang ayah (Mbah KH. Bahruddin Kalam) mengajak
sang putra (Romo KH. Soleh Bahruddin) untuk melihat lokasi tersebut.
Berangkatlah beliau berdua untuk melihat lokasinya dan setelah melihat
serta mengetahui lokasi tersebut sang ayah (Mbah KH. Bahruddin Kalam)
merasa cocok dan menganggap sesuai dengan apa yang diharapkannya,
berkatalah beliau kepada sang putra; “Tempat seng koyok ngene iki seng
tak karepno, iki jenenge pancor emas, tanahe mujur ngalor miring ngetan,
iki masih njalok piroae tukuen, ojok di enyang, embuh yok opo caramu,
(tempat yang seperti inilah yang aku harapkan, ini namanya pancor emas,
tanahnya mujur (menghadap) ke utara agak miring ke timur, ini minta
berapa saja harus kamu beli, jangan ditawar, entah bagaimana caramu).
***
Waba'du, hingga sekarang Pesantren Ngalah yang beralamatkan di Dusun
Pandean, Desa Sengonagung, Kecamatan Purwosari Kabupaten Pasuruan dalam
perkembangannya telah memiliki puluhan hektar lahan untuk pengembangan
pesantren. Alhamdulillah..